Kesedihan Sumiati, Di Cap.Sebagai “Orang Gila”

Img 20201117 Wa0084

Haeianwarna.ID, Lampung Barat – Tepat dilereng sebuah tebing, pada gubuk bambu 2 X 1 meter, Sumiati (35), tinggal dan menjalani hidupnya dengan sebuah cap pada dahinya “Orang Gila”.
Meski “sangkar” tempat tinggalnya sungguh buruk, Teh Sumi, begitu ia akrab disapa, sangat jarang keluar dari sana. Posisi gubuk yang dibangun pada lahan dengan kemiringan curam memang membuat siapapun segan keluar masuk dari sana.
Pun pada Selasa sore (17/11) kemarin saat sekelompok awak media massa berkunjung ke sana, Sumi tak banyak bergerak. Ia hanya berdiam diri di dalam “sangkar”nya.

 

Hujan yang mengguyur wilayah Dusun Talang Delapan sore itu praktis menyebabkan aktivitas Sumi “terkunci” di gubuknya. Selain curam, jalan tanah menuju gubuk Sumi jadi sangat licin akibat hujan. Tiga awak media televisi swasta terpeleset, terbanting, bahkan jungkir balik ketika nekat turun untuk mengambil gambar.

Meski terjadi kecelakaan, kunjungan awak media sore itu menerbitkan sungging senyuman pada bibir Sumi. Bak bocah yang selalu lapar, Sumi sumringah menerima beberapa pak kue kering. Kepada wartawati yang mengakrabinya, Sumi spontan mengoceh gembira bahkan minta dibuatkan kopi. “Hayang ngopi euy. Pan loba dahareun,” (pengen ngopi. Kan ada banyak camilan) ujarnya polos dalam dialek Sunda.
Hari itu Sumi mengenakan atasan kemeja berwarna pink dan bawahan semacam handuk yang sudah usang dimakan waktu. Nyaris tak ada apapun didalam biliknya. Ia nampak melipat kakinya karena udara dingin yang menerjang dari sela-sela dinding bambu yang tak rapat.Berlantai tanah dan beratap seng, bilik tempat tinggal Sumi dapat dipastikan selalu mengancamnya dengan udara dingin yang menusuk tulang ketika malam tiba.Apalagi, bilik ini tak memiliki penerangan apapun. Jangankan bohlam lampu listrik, sentir usang pun tak ada. Mungkin Cuma kodok, kalong, dan Teh Sumi, yang tak suka terang yang menghangatkan.

 

Dari pengakuan Mat Nur (41) kakak kandung Sumi, didapat keterangan bahwa sudah lebih dari tiga tahun perempuan paruh baya ini tinggal pada gubuk derita di lereng curam tersebut. Mat Nur berdalih tak ada lahan datar tersisa dari sepetak kecil tanah warisan orang tua mereka yang dapat disisihkan bagi Sumi. Sebab itu, ia merelakan adik semata wayangnya itu tinggal pada tebing curam disamping rumahnya.
Bukan hanya miris bentuk dan letaknya, gubuk yang dihuni Sumi juga tak memiliki MCK.

Maka, pasien yang didiagnosa menderita ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) ringan ini selalu menuju kubangan air yang terletak beberapa meter dibawah gubuknya untuk mandi, cuci dan kakus. Terlihat jelas air yang digunakan keruh dan kotor. Berwarna cokelat bercampur lumpur, terlebih setelah turun hujan.
Masih menurut Mat Nur, Sumi diduga telah memiliki ganguan kejiwaan sejak selepas sekolah dasar.

“Tapi dulu tidak parah. Makanya sempat menikah dan punya anak,” terang Mat Nur. Meski pernah berumah tangga, namun Sumi tak pernah mengantongi surat nikah. Bahkan selembar kartu keluarga pun ia tak punya. KTP yang jadi identitas setiap manusia di Republik Indonesia juga tak ada.

Kondisi kejiwaan Sumi terlihat bertambah parah sekitar 16 tahun silam ketika ditinggal pergi suami dan putri kesayangannya bernama Munah. Meski sempat menikah lagi dengan penyandang bisu tuli dan dikaruniai seorang putra (kini delapan tahun), kondisi kejiwaan Sumi tak pernah kembali seperti dulu. Apalagi, sejak tiga tahun lalu suami kedua dan putranya bernama Pani juga memilih memisahkan diri dari Sumi.

Meski sakit, Sumi tak diobati secara serius. Mat Nur yang merupakan satu-satunya kerabat Sumi mengaku tak berdaya menghadapi kondisi tersebut. Penghasilannya sebagai buruh tani dan pedagang buah musiman tak mampu membiayai pengobatan Sumi. Apalagi, Mat Nur sekeluarga menyandang status keluarga pra sejahtera yang rutin disantuni pemerintah.

Kesulitan ekonomi ini diperparah buruknya administrasi kependudukan Sumi. Karena tidak memiliki selembar pun dokumen kependudukan, pasien ODGJ ini tidak memiliki KIS PBI (Kartu Indonesia Sehat Penerima Bantuan Iuran). Bahkan Sumi selalu luput dari berbagai bentuk bansos yang kini gencar digulirkan pemerintah di tengah pandemi.

 

Satu-satunya pengobatan yang diterima Sumi adalah layanan obat gratis penyandang ODGJ dari Puskesmas Kecamatan Sukau. Menurut Mat Nur, dua atau tiga bulan sekali mantri dari puskesmas datang memberi obat atau memerintahkan Mat Nur turun ke puskesmas mengambil obat. Namun sudah dua bulan belakangan, Sumi tak minum obat. Obat yang dulu diberikan sudah lama habis, sedangkan jatah yang baru tak kunjung tiba.

Kisah muram ini tak berhenti sampai disitu. Sejumlah tetangga Sumi di Pemangku 15 Talang Delapan, Pekon Tanjungraya, Kecamatan Sukau, sering didatangi sang ODGJ sambil menangis dan mengaku kelaparan.

“Suka nangis kalo keliling minta makan. Katanya lapar. Tapi gitu aja, gak pernah ganggu, gak pernah ngamuk. Biasanya nyambung kalau diajak ngobrol,” ujar seorang warga yang menolak disebut identitasnya. Warga sekitar justru lebih setuju jika Teh Sumi disebut warga telantar ketimbang dicap “Orang Gila” Bahkan warga percaya,

jika dikembalikan pada hunian yang manusiawi dan mendapat perhatian sewajarnya, Sumiati diyakini dapat hidup sewajarnya ditengah-tengah lingkungannya.

Disela ocehannya yang tampak waras, Sumiati, merintih. Ia mengiba pada nasib agar memberinya sedekah, dan ia menyebut nama-nama. Mungkin nama putri kesayangannya, juga putranya, atau justru nama kita semua yang dapat menolongnya.

Dari kisah Sumiati mungkin Indonesia layak bercermin agar manusia ditempatkan lebih berharga ketimbang selembar kertas bernama dokumen kependudukan. Agar warga yang menderita tetap tersantuni subsidi negara meski mereka tak terdata. Sebab apalah artinya data dibanding jiwa-jiwa.(daniel)

Please Post Your Comments & Reviews

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *