Harianwarna.ID, Lampung Barat – Pepatah kuno mengatakan “Jika ingin berjalan jauh, berjalanlah bersama”. Ibarat pepatah kuno itulah kiranya upaya pemulihan dan penanganan terhadap Sumiati (35) penyandang ODGJ di Talang Delapan, Kecamatan Sukau, Kabupaten Lampung Barat. Sebuah “perjalanan jauh” yang harus dilakukan bersama-sama baik keluarga, pemerintah pun warga sekitar.
Bukan hanya semangat Teh Sumi yang dibutuhkan untuk penyembuhan, tapi juga perhatian keluarga, dukungan masyarakat sekitar, langkah nyata Dinsos dan Dinkes Lambar, bahkan harus melibatkan Yayasan Rehabilitasi Mental Aulia Rahma di Kemiling, Bandar Lampung. Tak sampai disitu, untuk mengarahkan Teh Sumi agar mampu hidup mandiri, juga harus melibatkan UPT Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental Darma Guna di Propinsi Bengkulu.
Patut disyukuri bahwa “perjalanan jauh” itu sudah dimulai dengan sebuah langkah kecil di Pemangku 15 Talang Delapan, Pekon Tanjungraya, Kecamatan Sukau, Kabupaten Lampung Barat, Jumat pagi (20/11).
Pemkab Lambar melalui dinsos, pihak puskesmas dan aparatur pekon setempat turun memantau dan menangani Sumiati, pasien ODGJ yang hidup terlantar pada gubuk kecil di lereng curam.
Saat ditemui di lokasi, Rega Saputra, Kabid Bantuan dan Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Lampung Barat menjelaskan hari itu tim memberikan semacam “pertolongan pertama” pada Teh Sumi. Mereka mendorong pihak keluarga bekerjasama dengan pihak pemerintah pekon segera mengurus KTP bagi Sumiati. Jika proses itu selesai, pihak dinsos segera memberi rekomendasi ke BPJS agar KIS PBI (Kartu Indonesia Sehat Penerima Bantuan Iuran) atas nama Sumiati dapat diterbitkan.
Jika sudah mengantongi KIS, pasien dapat dirujuk menjalani pemulihan mental selama delapan bulan di Yayasan Aulia Rahma, Kemiling, yang menjalin kerjasama dengan Pemkab Lambar. “Tapi kita belum bisa merujuknya sekarang sebab jatah tahun berjalan sudah habis terpakai. Untuk pasien Sumiati kami prioritaskan tahun depan mendapat rujukan,” ujar Rega.
Ia menambahkan, pasca rehabilitasi tersebut, pasien bisa dirujuk lanjutan ke UPT RSPDM Darma Guna dibawah Kemensos RI di Bengkulu. “Disana pasien akan diberi pelatihan kerja dan keterampilan agar bisa kembali ke tengah-tengah masyarakat dan hidup mandiri” jelas Rega.
Namun Rega mengingatkan, jalan panjang menuju kesembuhan bagi pasien tidak bisa terwujud tanpa perhatian pihak keluarga dan dukungan masyarakat sekitar. “Kasih sayang dari orang terdekat menjadi kunci untuk penyembuhan. Juga dukungan warga sekitar agar tidak mengucilkan pasien,” ujarnya mengingatkan.
Selain rujukan pelayanan kesehatan, pemerintah juga mengupayakan ODGJ dengan dua anak ini masuk dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Tujuannya agar Sumiati mendapat program perlindungan sosial yang dibutuhkan seperti misalnya BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) maupun bansos lainnya.
Sementara “jalan panjang” ini dirintis, asupan obat bagi Sumiati tidak boleh berhenti. Kepala UPT Puskesmas Sukau Sardi yang juga ikut ke lokasi hari itu memastikan obat bagi pasien ODGJ terus diberikan secara gratis. “Tapi keluarga pasien yang harus mengambilnya ke puskesmas. Kami akan memberi bimbingan agar keluarga pasien lebih peduli dan mau memperhatikan pasien,” terang Rusdi.
Selain mengedukasi agar tidak terjadi penelantaran, pihak puskesmas juga akan mengajari keluarga pasien tentang pentingnya sanitasi bagi pasien.
Mat Nur (41), kakak kandung Sumiati, banyak menganggukkan kepala hari itu. Menerima berbagai bentuk penjelasan dari dinsos dan dinkes, ia terus manggut-manggut. Setelahnya ia berjanji segera mengantar adik semata wayangnya untuk perekaman KTP Elektronik di Kantor Kecamatan Sukau,
”Senin nanti pasti saya antar Pak. Tapi saya mau tanya Pak Kadus dulu.” ujar Mat Nur.
Pria yang sehari-harinya bekerja sebagai penjual buah keliling ini, mengaku bersyukur atas perhatian pemerintah terhadap saudari perempuannya.
“Soalnya saya juga sudah bingung harus bagaimana. Mau begini-begitu merasa serba salah,” katanya. Namun ia mengaku ikhlas jika pada akhirnya Sumi dirujuk untuk diobati.
Sementara Sumiati tampak penuh kegembiraan di depan gubuknya. Cuaca cerah pada Jumat pagi itu membuat tebing menuju gubuk Sumi lebih jinak dititi. Sebab itu Teh Sumi menerima banyak tamu. Selain aparatur pemerintah, sekelompok perempuan yang merupakan tetangga pasien ODGJ ini hadir bercengkerama dengannnya. Mereka kompak memberi semangat ala emak-emak pada Teh Sumi. Rupa-rupanya dukungan masyarakat agar tidak mengucilkan si pasien ODGJ langsung dilakoni.
Langkah nyata pemerintah juga sudah dimulai. Perhatian dan kasih sayang dari orang-orang terdekat juga terus diupayakan.
Penuh senyum, seolah Sumiati memahami bahwa kerumunan orang-orang yang memenuhi pelataran gubuknya sedang berupaya membela nasibnya yang tidak beruntung. Meski tanpa Munah, putri yang sangat dikasihinya, juga tanpa Pani, putra kesayangannya.
Disela ocehannya yang tampak waras, kiranya Teh Sumi mungucap syukur pada nasib yang telah memberinya sedekah. Supaya “perjalanan jauh” yang sedang ditempuhnya tetap dijalani bersama-sama. Bersama orang terkasih, bersama para tetangga yang baik hati, bersama pemerintah yang menjalankan tugasnya dengan hati yang peduli, dan tentu saja bersama Tuhan yang Maha Kasih.
Terkendala stigma
Sementara itu. Kepala UPT Puskesmas Sukau Sardi mengatakan. Penanganan terhadap ODGJ, sering terkandala stigmatisasi di tengah masyarakat. Sebagian besar keluarga pasien merasa malu melaporkan kasus ODGJ, sebab stigma yang melekat pada pasien ODGJ dianggap penyakit memalukan.
“(Fakta) ini menyulitkan pendataan maupun pengobatan terhadap pasien gangguan jiwa. Padahal pengobatan untuk penderita gangguan jiwa harus bersifat terus menerus,” terang Sardi.
Data dari Puskesmas Sukau menyebutkan sedikitnya ada 10 pasien ODGJ di Kecamatan setempat. Dari jumlah itu, tidak semuanya ditangani secara rutin oleh pihak puskesmas.
Pasalnya, sebagian keluarga pasien malu untuk melapor atau sekedar meminta obat. Biasanya, keluarga pasien baru mau melapor jika si ODGJ mulai mengamuk atau menyebabkan gangguan pada lingkungannya.
“Jadi yang ngamuk-ngamuk itulah yang cepat kami tangani. Yang tidak lapor tentu sulit untuk ditangani,” imbuh Sardi.
Selain kendala tersebut, pemerintah mengakui upaya penanganan ODGJ juga terkandala alokasi dana. Sebagai contoh, pada tahun berjalan kuota rujukan bagi ODGJ di lambar hanya untuk 6 orang. Jika kebutuhan rujukan melampaui kuota, dinsos harus menghentikan sementara tindakan rujukan.
“Untuk tahun depan jumlah rujukannya kita tambah. Sekarang sedang digodok bersama dewan (maksudnya DPRD,red). Mudah-mudahan disetujui jadi lima belas rujukan untuk lima belas pasien,” jelas Rega Saputra, Kabid Bantuan dan Rehabilitasi Sosial Dinsos Lambar.
Kemudian dia menambahkan, jika pasien Sumiati telah menjadi prioritas rujukan pada Tahun 2021.
“Kami upayakan Sumiati dirujuk ke Kemiling tahun depan. Selanjutnya kita upayakan ke Bengkulu untuk pelatihan keterampilan. Sebab kondisinya masih penuh harapan,” pungkas Rega.(dan/eki)