Pesisir Barat – Di ujung Provinsi Lampung, tepatnya di Kabupaten Pesisir Barat, khususnya di Pekon Sukanegara, Kecamatan Ngambur. Masih banyak terlihat kesenjangan sosial, yang membuat kita menjadi miris. Kehidupan di Pekon ini, masih banyak bertumpu pada penghasilan harian (buruh), untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ironinya, meski sudah bekerja keras pengahsilannya tidak mampu menutupi perekonomian keluarganya.
Penyebabnya adalah, upah buruh harian seperti pemetik sawit hanya mendapat Rp150/kg. Dan pekerjaannya pun di batasi, hanya bekerja 8 hari dalam sebulan. Hal ini di akui salah satu penduduk Pekon tersebut, Muhammad Toha (28) dan istrinya Dewi Sartika (25), yang kesehariannya menjadi buruh pemetik sawit. Pasangan suami istri (pasutri) ini, selalu beranjak dari rumah pukul 06.00 WIB (pagi) untuk bekerja. Dimana, sebagian penduduk masih terlelap.
Dengan berbekal dodos (sejenis pisau berbentuk sekop dengan gagang sangat panjang) dan egrek, dua sejoli ini gegas menuju areal perkebunan sawit yang berjarak sekitar 5 kilometer dari rumah mereka. Disana, mereka mengais rejeki sebagai buruh kasar pemetik sawit.
Memang, pekerjaan ink bukan hal yang mudah. Terlebih lagi bagi istrinya, Dewi. Upahnya pun minim, hanya Rp150 perkilo. Harga itu merupakan upah borongan; mulai dari memetik buah menggunakan dodos, membersihkan pelepah dengan egrek, hingga mengangkut buah menggunakan motor menuju titik pengepul.
Dalam sehari, Toha dan Dewi bisa memanen sampai 1 ton buah sawit atau meraup upah Rp150 ribu. Jika saja pekerjaan ini berlangsung tiap hari, niscaya keluarga ini kecukupan. Sialnya, pekerjaan ini, hanya bisa dilakoni delapan kali dalam sebulan. Artinya, Toha dan Dewi hanya berpenghasilan Rp1,2 juta dalam sebulan. Jumlah yang sangat minim bagi kehidupan pasutri ini, untuk menghidupi ke dua anak mereka. Bahkan, saat ini ibu kandung Toha yang lansia, tinggal bersama mereka.
Kondisi inilah, yang membuat hati Muhammad Toha terus resah. Raut wajahnya, menunjukkan kegelisahan saat ditemui awak media disela-sela kesibukannya mengunduh sawit. Apalagi, sebagai OTM (Orang Tidak Mampu) ia dan keluarganya tidak masuk DTKS Kemensos. Akibatnya, semua program pemerintah untuk penanganan kesejahteraan sosial, tak pernah singgah ke rumahnya.
Padahal, sebelumnya pendamping PKH (Program Keluarga Harapan) Pekon Sukanegara sempat melambungkan harapan buruh serabutan ini dengan memberikan KKS (Kartu Kesejahteraan Sosial) pada 2019 silam. Karena merasa berhak menerima bansos PKH, Dewi Sartika ikut kumpulan saat pencairan dana PKH dan pengambilan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai).
Namun hasilnya, ia pulang dengan kecewa. Karena KKS miliknya. tidak berisi saldo. Negara dikabarkan tidak pernah mengisi kartu yang diduga bodong tersebut. Beras, telur, buah dan sayur juga tak bisa digondol ibu dua anak ini. Dewi marah, hatinya terluka. Itu bisa dilihat dari emosinya saat ditemui di kediamannya Sabtu sore (20/2/2021).
“Jadi apa maksudnya, negara memberikan kartu ini pada kami?” terangnya.
Jika mengacu aturan Kemensos tentang PKH, kasus yang dialami Dewi Sartika adalah exclusion error dimana mereka tidak ditetapkan sebagai penerima manfaat, meski sebenarnya memenuhi syarat. Hal ini tentu disebabkan buruknya pendataan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) di Kabupaten Pesisir Barat.
Meski banyak kriteria penyandang FM-OTM ditemukan dalam keluarga ini, faktanya mereka tidak masuk DTKS. Keadaan ini sangat di sayangkan, mengingat masalah sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa ada perbaikan.
Dan ini bukan hanya menimpa Muhammad Toha saja, dugaan exclusion error juga terlihat dan dialami beberapa rumah tangga lainnya di Pekon Sukanegara.
Kontras dengan itu, kasus inclusion error, dimana negara menetapkan orang yang tidak memenuhi syarat sebagai penerima manfaat ada di pekon tersebut. Salah satunya, keluarga Suwandi dan Winda. Pria yang berprofesi sebagai tukang ini mengaku, sudah tujuh tahun lebih menikmati dana PKH.
“Ngambilnya tiga bulan sekali. Setiap ngambil dapat enam ratus ribu,” ujar pasutri ini saling bersahutan, pada Haraianwarna.ID.
Saat ini, Suwandi tengah sibuk merenovasi rumahnya bersama sejumlah pekerja. Tampak jelas bapak tiga anak ini hidup berkecukupan. Selain memiliki rumah yang jelas mewah, keluarga ini juga memiliki beberapa unit kendaraan bermotor.
Suwandi juga mengakui, jika ada sejumlah penerima PKH di lingkungannya, rerata memiliki rumah tembok bercat rapih dan berlantai keramik. Komdisi nyata ini terlihat, dan berbeda jauh dengan yang di alami Muhammad Toha..
Akibat semrawutnya DTKS, akan selalu memakan korban (Gakin). Dan, sekaligus memanjakan warga yang rakus. Sebaliknya, warga yang tidak memenuhi syarat malah mengangkangi bantuan yang bukan hak mereka. Jika tidak segera diperbaiki, triliunan rupiah uang negara akan tetap salah sasaran. Sehingga, upaya mengentaskan kemiskinan akan selalu sia-sia dan bermasalah. (Andi Saputra)