“Seleksi Terbuka”
Oleh : Rolly Johan, SH
Terkadang anggapan atau ucapan orang tentang Seleksi Terbuka (Selter), akan sia-sia manakala tanpa restu dari orang nomor satu di daerah (Bupati), nyaris benar adanya. Meski memiliki nilai teetinggi, belum tentu di pastikan terpilih untuk menduduki jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP). Inilah yang menyebabkan, anggapan tersebut mendekati kebenaran. Namun, ada sisi positif di balik kegagalan tersebut. Setidaknya, kompetitor selter mendapat pengalaman berharga, serta kebanggaaan tersendiri dengan hasil yang di capainya, meskipun belum mendapat amanah dari bupati.
Di lain sisi, meski telah mendapat restu belum tentu juga terpilih. Manakala, peserta tersebut tidak lolos dalam 3 besar. Tapi ini. kemungkinannya sangat kecil (0,1%). Tergantung dengan upaya peserta itu sendiri, mau belajar dan upaya atau tidak. Mulai dari seleksi administrasi, Uji Kompetensi dan lain sebagainya. Sehingga, peserta mampu kompetitif mengikuti selter dan masuk dalam 3 besar.
Memang, hasil akhir selter ini ada regulasinya. Seperti Peserta dengan nilai tertinggi,, atau yang berada di posisi 3 mempunyai kesempatan yang sama untuk di pilih siapa yang layak oleh bupati. Namun ini, terkesan adanya ketidakadilan, penilaian akhir bukan berdasarkan nilai tertinggi. Tapi itulah aturannya, semuanya hak prerogatif bupati dalam hal menentukan pilihan. Dan ini tak terbantahkan, hak dari seorang bupati untuk menyusun kabinet yang baik guna mendukung, dan melaksanakan semua program pembangunan daerah.
Apa yang saya sampaikan, persis dengan apa yang di sampaikan Kabid Mutasi Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Lampung Utara, Hendry Dunant, S. STP, via selular, Minggu (20/12/2020) yang lalu. Jika hasil akhir selter, atau hasil 3 besar peserta akan di serahkan pada bupati, dan tidak akan di publikasikan sampai dengan adanya keputusan, siapa yang di pilih oleh bupati nantinya.
Tanpa disadari, mekanisme selter ini banyak menuai kritikan Banyak anggapan Ada ketidakadilan di seleksi terbuka tersebut, terutama bagi yang di rugikan. Ini fakta..!, dari data yang saya dapat peserta nilai tertinggi tidak menjamin lolos dan terpilih sebagai pejabat eselon II. Apalagi mengingat hasil 3 besar tidak dapat di publikasikan sampai dengan adanya keputusan bupati siapa yang layak dan pantas menjadi pejabat.
Jika selter ini masih menggunakan pola lama, dapat dipastikan orang-orang pintar didaerah akan mundur teratur atau tidak akan mengikuti selter tersebut.
“Apa guna kita belajar ikut selter, toh hasilnya bukan berdasarkan nilai. Kan ini menghabiskan tenaga, pikiran, waktu dan biaya,” ujar salah satu ASN yang enggan namanya disebut.
Singkat kata, Kita berharap. Ada keadilan dalam seleksi terbuka ini, meskipun ada hak prerogatif dari kepala daerah. Tapi setidaknya, menjadi pertimbangan dan referensi bupati dalam menyusun kabinetnya kedepan. Sehingga, pejabat yang terpilih, dapat benar-benar membantu semua program bupati dalam.membangun daerah. (*)