“Tanah Lado”

Img 20210620 233824

Tanah Lado

Oleh . : Rolly Johan, SH

Saya tertarik dengan sebuah judul lagu “Tanah Lado” enak didengar dan dinyanyikan, bahkan lagu ini menjadi terkenal sampai saat ini. Lagu tersebut bagi saya penuh makna, ada pesan yang tersirat terutama sejarah perkebunan Lada. Di liriknya Seakan menggambarkan tanah Lampung tidak bisa dipisahkan dari lada/lado .bumi ” ruwa Jurai” sebagai penghasil lada hitam atau black pepper terbesar sejak zaman penjajahan Belanda,Inggris dan portugis.

Tidak bisa di pungkiri komoditas lada merupakan salah satu rempah-rempah yang menjadi andalan dan menjadi salah satu bagian lambang provinsi Lampung. Apalagi, lada hitam Lampung mempunyai reputasi baik di pasar internasional. Dari beberapa sumber yang saya dapat, seperti Kompas, Lada hitam Lampung memperoleh sertifikat indikasi geografis karena memiliki reputasi baik di pasar domestik dan juga pasar internasional pada tahun 2015. Sertifikat itu merupakan legalitas merek lada hitam Lampung sebagai milik masyarakat Lampung yang tidak dimiliki daerah lain di dunia

Selain itu, Lada hitam Lampung memiliki ciri berwarna hitam sampai kecoklatan dengan kadar air maksimal 13 persen, kadar piperine 3,29-4,7 persen,minyak Atsiri 1,14-2,89 persen, dan oleoresin 12,8-15,20 persen. Bentuknya kecil dan padat, tetapi memiliki tingkat kepedasan yang dapat bertahan lama dengan aroma yang sangat kuat dan bernilai tinggi. Sebab biasa digunakan sebagai alat tukar, pembayaran pajak, ataupun seserahan perkawinan . Bahkan ,hingga kini lada dijuluki sebagai “king of spice” atau raja rempah-rempah.

Dari data diatas, tentunya Lampung merupakan penghasil lada terbaik. Bahkan petani lada juga pernah mengalami kesuksesan pada tahun 1998, harga saat itu mencapai Ro100 ribua an dari harga Rp20 Ribu. Sayangnya, tidak berlangsung lama. Tapi setidaknya, para petani telah mengalami kesuksesan.

Seiring perjalanan waktu, harga lada kembal rurun sampai ketitik terendah yang membuat petani menjadi jenuh. Dengan harga Rp40Rb sampai Rp60Rb, membuat petani semakin kebingungan, hingga beralih menjadi petani lainnya seperti petani singkong atapun Jagung.
Peralihan perkebunan dilihat dari aspek Ekonomi menurut saya tidak salah, sebab harga komoditi tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan petani untuk merawat kebunnya. Tapu ada yang kita sayangkan, jika semua petani Lada harus beralih pada perkebunan lainnya akan mengikis citra ataupun Ikon Lampung sebagai penyumbang Lada terbaik.

Dari data yang saya dapat dilapangan, petani Lada di Lampung Utara tersisa lebih kurang 20% dari 80% sebelumnya. Artinya, ada penurunan yang signifikan di wilayah Lampung Utara. Para petani lada bajyak yang beralih padaperkebunan singkong yang menurut mereka lebih menjanjikan, terbukti hampir 60% petani singkong yang ada di Lampung Utara.

Meski demikian, Lada hitam khusus di Lampung utara jangan sampai hilang. Dan ini menjadi perhatian penuh pemerintah daerah untuk memghidupkan kembali perkebunan Lada di Lampung Utara dengan cara yang mudah di mengerti/ di fahami petani seperti, sosialisasi, memberikan bibit Lada dengan waktu singkat dapat produksi tanpa harus menggangu usaha petani perkebunan lainnya. Biarkan petani singkong atau lainnya menjalani usahanya, dan bagi yang ingin menjadi petani Lada tinggal menyiapkan lahan baru untuk memulainya.

Jika masalah ini tidak segera di atasi, maka tidak menutup.kemungkinan beberapa tahun kedepan terjadi kepunahan pada komoditi andalan Lampung ini. Yang dibutuhkan saat ini adalah peran pemerintah, perduli.atau tidak, mau atau tidak menghidupkan kembali Lampung sebagai “Tanah Lado”. (*)

Please Post Your Comments & Reviews

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *