“Misteri Pinjaman PEN”
Oleh : Rolly Johan
Sabtu, 19 November 2021
Terkadang miris melihat penomena yang terjadi di Lampung Utara, masalah tak pernah berakhir. Bahkan kebijakan yang diambil pemerintah selalu bertolak belakang dengan keinginan masyarakat, menuai pro kontra, yang berimbas pada kegaduhan.
Namun sebelum masuk persoalan, ada baiknya kita fahami bersama apa itu program PEN. Berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2020 adalah, rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat Penanganan pandemi Corona Vints Disease 2Ol9 (COVID19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional –dan/atau stabilitas sistem keuangan serta penyelamatan ekonomi nasional.
Atau dapat kita persempit lagi, PEN ini sejatinya diperuntukkan bagi pelaku usaha seperti UMKM yang sedang mengalami penurunan omset di tengah Pandemi covid-19. Dan satu hal lagi, pinjaman PEN tidak di kenai bunga, sebab dana tersebut jelas bersumber dari keuangan negara.
Sementara pinjaman atau utang yang tdi dapat Lampung Utara itu sebenarnya bukan Program PEN, melainkan penunjang PEN. Sebab, saat itu lampung utara terlambat mengusulkan PEN kepusat dan program PEN telah di tutup. Alternatifnya adalah penunjang PEN, jadi wajar saja pinjaman di kenai bunga karena pinjaman tersebut melalui pihak ketiga Yaitu PT Sarana Multi Infrstruktr (SMI).Ini juga yang masih menjadi misteri, mengapa pemerintah daerah Lampung Utara terus ngotot berupaya melakukan loby utang kepada pihak ketiga meskipun berbunga.
Tanpa sadar pinjaman ini mendadak viral di media sosial, banyak pihak menilai utang atau pinjaman tersebut terkesan di paksakan, dan mubazir. Apalagi, pembayaran utang tersebut, jelas akan membebani anggaran daerah (APBD) itu sendiri.
Lucunya lagi, pinjaman daerah yang mencapai Rp122 M itu tidak melalui persetujuan DPRD setempat (Paripurna). Padahal pembayaran utang penunjang PEN ini jelas akan membebani Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Dan saya sepekat dengan apa yang di sampaikan oleh Wakil Ketua DPRD Lampung Utara, madri Daud, saat berkunjung ke Kantor Redaksi Harian Warna ID, Jum’at (18/11/2021) malam. Menurutmya, pinjaman daerah seakan di paksakan. Indikatornya, tanpa melalui proses persetujuan DPRD Lampung Utara pinjaman tetap.di llakukan.
“Kan lucu jadinya, saat ngutang tidak ada persetujuan dewan. Nanti mau bayar utang. pasti minta persetujuan Dewan (Paripurna). Dari mana daerah mau bayar, kalau tidak pakai APBD..?” kata Wakil Ketua I DPRD Lampung Utara, Madri Daud, MH, saat berkunjung ke Redaksi Harian Warna. iD, Jum’at (18/11/2021) malam.
Yang lebih mengherankan Madri adalah, dana pinjaman Rp122 M diperuntukan infrstruktur sudah terbagi dalam bentuk 48 paket pekerjaan yang siap di lelang. serta di tambah aturan yang sengaja di buat sistematis untuk membatasi rekanan lain berkompetisi, seperti persyaratan AMP (Asphalt Mixing Plant/pabrik pencampur aspal.
”Kami di DPRD tidak tau, jika pinjaman itu untuk infrastruktur. Jadi Kalau banyak mudaratnya dan hanya akan menimbulkan persoalan, lebih baik batalkan saja,” Ujar Madri.
Dalam penilaian politisi Gerindra ini, apa yang disarankannya itu sangat rasional Jika dibandingkan dengan persyaratan yang terkesan tidak masuk akal. Sebab Persyaratan yang sengaja di buat, akan memperkecil peluang para kontraktor kecil untuk turut ambil bagian dalam proses lelang proyek tersebut.
“Pelelangan itu milik semua perusahaan yang berbadan hukum. Tidak boleh dibatasi dengan sebuah aturan. Proses pelelangan harus tetap mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021,” papar dia.
”Lampung Utara lagi defisit. (Sudah) terbebani lagi dengan bunga itu. Udahlah kita bangun sesuai kemampuan. Untuk apa dipaksakan pembangunan kalau kita harus gontok – gontokan dan timbulkan kegaduhan,” lanjutnya.
Sebenarnya apa yang di sampaikan Madri sangat rasional, mengingat lampung utara pasca insiden OTT butuh waktu untuk bangkit kembali. Meski demikian, daerah juga tidak seharusnya mengambil.kebijakan yang akan membebani APBD itu sendiri seperti pinjaman Penunjang PEN. Sebab masih banyak upaya yang harus di lakukan, dengan Sumber Daya Manusia yang ada di lingkungan Pemkab tentunya dapat menggali sumber dana bagi daerah seperti Dinas PUPR, Dinas Pendidikan, Bappeda, dan lainnya.
Dan untuk Dinas terkait, jangan membatasi rekanan kecil menengah lainnya. Dengan aturan AMP tersebut, jelas akan berpengaruh bagi rekanan lainnya. Sehingga aturan ini akan mengkebiri pengusaha kecil sekaligus terkesan monopoli bagi pengusaha kelas kakap. Jika ini tidak segera di benahi, tidak menutup kemungkinan proyek ratusan miliar menjadi sorotan aparat penegak hukum teruma Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (*)