Oleh : HERY MAULANA (Redaktur Pelaksana)
Assalamualaikum wr.wb
Rancangan Undang-Undang Penyiaran, bikin heboh. Utamanya dikalangan insan pers. Penyebabnya ada salah satu pasal, menyebutkan larangan penayangan eklusif investigasi. Padahal dalam dunia jurnalis diseantero dunia, tayangan investigasi adalah ‘mahkota’. Tayangan yang menjadi andalan bagi media. Bahkan sebagian perusahaan media mewajibkan untuk melakukan investigasi dan menayangkannya secara eklusif.
RUU yang kini tengah dibahas oleh Badan Legislatif DPR RI mulai 27 Maret 2024 itu, juga memberangus kewenangan Dewan Pers. Lewat pasal yang menyebutkan sengketa pers tidak lagi ditangani oleh Dewan Pers. Melainkan dialihkan pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Pada dua pasal ini saja mengindikasikan upaya untuk membungkam pers. Pers tidak lagi diberi keleluasaan khususnya melakukan jurnalisme investigasi. Dengan begitu Pers tidak lagi dapat mengungkap skandal, kasus dan penyimpangan yang potensi atau telah terjadi. Pers tidak lagi dapat ‘menggonggong’ kebijakan atau perbuatan salah dan tidak pro rakyat. Begitupun yang bernuansa Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).
RUU ini seolah ingin mengembalikan kedudukan Pers sebagai mana era Orde Baru. Pers hanya dijadikan ‘corong’ pemerintah. Menanyangkan hanya yang disukai atau diarahkan. Hanya mewartakan kejadian atau peristiwa disekitar yang tidak terkait pemerintahan. Atau menerima pers rillis dan semacamnya. Tidak ada kebebasan yang dimiliki, sebagaimana pers sebagai pilar keempat demokrasi.
Pada pengalihan sengketa pers yang tidak lagi jadi ranah Dewan Pers, ini juga mengindikasikan pembungkaman itu. Diketahui Dewan Pers adalah lembaga independen yang tidak tunduk pada pemerintah. Ketika ada sengeketa terkait pers, maka Dewan Pers akan memutuskan secara mandiri dan independen. Dipastikan tidak akan merugikan insan pers, ketika karya jurnalisnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sementara KPI adalah lembaga pemerintah. Meskipun para komisioner KPI diyakini berintegritas, namun tidak menutup kemungkinan mereka diintervensi atau mendapatkan cawe-cawe dari oknum-oknum tertentu.
Sebagai Insan Pers kegelisahan akan dampak buruk RUU itu bagi demokrasi dan kebebasan pers menjadi sangat wajar. Pers yang mulai kuat dan berwibawa, kembali hanya menjadi alat siar pemerintah. Tanpa dapat mengungkapkan kebenaran hakiki yang diperoleh lewat investigasi. Pers tidak lagi menjadi kontrol bagi penyimpangan yang dilakukan. Karenanya secara tegas menyatakan MENOLAK RUU ini untuk disahkan.(*)
Wassalam